Minggu, 08 Mei 2011

Pengobatan Canggih Tuberculosis (TBC)

1. Pengobatan Terbaru Pada Tuberculosis

Sekitar sepertiga dari populasi dunia mempunyai TBC laten yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Sekitar 9 juta kasus TBC aktif muncul setiap tahunnya, dengan jumlah kematian sebesar 2-3 juta. Kebanyakan kasus baru terjadi di sebagian besar penduduk negara India dan Cina tapi tingkat tertinggi dapat terlihat di Sub Saharan Afrika, Indonesia, kepulauan Filipina, Afghanistan, Bolivia, dan Peru. Di daerah ini biasanya terdapat lebih dari 300 kasus per 100.000 kasus per tahun. Meskipun kejadian tuberkulosis menurun di Amerika Utara dan Eropa Barat pada pertengahan abad ke 20, tetapi kasus ini mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir karena imigrasi, HIV / AIDS, dan program pengendalian TB yang tidak sesuai. Faktor penting dalam mengendalikan terjadinya peningkatan TB adalah perawatan tepat yang tidak hanya mencakup suatu regimen yang efektif tetapi juga kepatuhan dan respon terhadap pengobatan. Jurnal ini membahas tentang rekomendasi perawatan saat ini terhadap TB.

2. Sumber dan Kriteria Seleksi

Peneliti melakukan pencarian Medline dari 10 tahun terakhir dengan menggunakan kata kunci “TBC dan pengobatan atau terapi obat ” untuk mencari literatur terkait. Peneliti juga melakukan pencarian bibliografi dari artikel tentang pengobatan TB untuk mendapatkan referensi yang relevan.

3. Prinsip-Prinsip Kemoterapi dan Regimen Multidrugs

Pengobatan menggunakan lebih dari satu obat didasarkan pada dua prinsip yaitu mencegah resistensi obat dan meningkatkan keberhasilan. Tuberclle bacilli dapat mengalami mutasi kromosom yang menyebabkan terjadinya resistensi terhadap setiap obat yang dipakai untuk mengobati tuberkulosis. Untungnya, mutasi ini jarang terjadi. Karena mutasinya bersifat tidak berhubungan (dalam hal ini adalah lokasi kromosom atau fungsi) dan spesifik untuk suatu obat atau golongan obat maka mustahil dapat terjadi organisme resisten terhadap obat yang lain. Resistensi obat hampir selalu disebabkan oleh pengobatan yang tidak adekuat. Hal ini mencakup ketidakterturan pasien untuk meminum obat yang diresepkan, kegagalan dokter untuk meresepkan obat secara tepat, kegagalan sistem perawatan kesehatan dalam menyediakan obat-obatan, atau malabsorpsi obat karena disfungsi sistem pencernaan atau obat tersebut memiliki bioavaibilitas yang dibawah standard.

Pengobatan dengan obat kombinasi (tabel 1) berguna untuk mempercepat respon pengobatan dan untuk mempersingkat waktu pengobatan. Rifampisin dan isoniazid adalah obat-obatan utama yang digunakan saat ini, rifampisin memiliki peranan penting dalam mengurangi waktu pengobatan dan mempunyai hasil yang cukup memuaskan. Regimen pengobatan dengan rifampisin dan isoniazid selama 9 bulan atau bersamaan dengan streptomisin atau etambutol, atau keduanya, diperkirakan dapat menyembuhkan lebih dari 95% pasien.

Penelitian dari UK’s Medical Research Council menunjukkan bahwa, jika pyrazinamide dimasukkan dalam pengobatan selama dua bulan pertama, maka waktu pengobatan dapat dikurangi sampai enam bulan dengan tingkat kesembuhan tetap sebesar 95% atau lebih.

Regimen pengobatan rifampisin, isoniazid, dan pyrazinamide yang diberikan kepada pasien dengan strain bacilli yang resisten terhadap isoniazid akan mengakibatkan kegagalan pengobatan dan resistensi terhadap rifampisin. Oleh karena itu, pada tahun 1994 American Thoracic Society dan US Centers for Disease Control and Prevention merekomendasikan obat keempat yaitu ethambutol yang sebaiknya diberikan pada pasien dengan basil yang mudah terjadi resistensi. Individu tersebut mungkin merupakan imigran dari daerah dengan prevalensi resistensi yang tinggi atau individu dengan riwayat predisposisi terjadinya resistensi. Obat keempat ini harus diberikan pada daerah-daerah yang mempunyai tingkat resistensi sebesar 4% atau lebih. Pada tahun 1998, British Thoracic Society menganjurkan regimen empat obat sebagai fase awal pengobatan.

Semua pasien tuberculosis dianjurkan untuk melakukan tes HIV. Suplemen piridoksin (Vitamin B6) diberikan pada pasien yang memakai isoniazid untuk mencegah terjadinya peripheral neuritis. Pasien dengan risiko terjadi neuropati, pasien yang kurang gizi atau hamil harus mendapat perhatian khusus. Dianjurkan dilakukan tes fungsi hati dan pemantauan secara rutin karena terdapatnya potensi hepatotoksisitas dari isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid. Risiko terjadinya kerusakan hati kurang dari 1%, tetapi gejala ringan asymptomatic yang berupa peningkatan konsentrasi transaminase darah dapat terjadi pada 20% pasien. Dosis ethambutol harus disesuaikan untuk pasien dengan kerusakan ginjal. Selain itu, pasien yang diberikan ethambutol harus diperiksa ketajaman penglihatan sejak awal dan dimonitor setiap bulan. Pasien dianjurkan untuk segera ke dokter jika terdapat gangguan penglihatan.

Pasien TB tidak diindikasikan secara rutin untuk dirawat di rumah sakit kecuali terdapat penyakit yang memerlukan perawatan, terdapat gangguan psikososial atau pasien yang memiliki faktor predisposisi terhadap hasil terapi jangka pendek yang buruk seperti limfopenia, usia lanjut, atau pengguna alkohol. Untuk mencegah penularan nosokomial, pasien TB harus ditempatkan di kamar tekanan negatif dengan ventilasi udara yang baik. Hal ini bertujuan untuk menyaring atau mematikan tubercle bacilli dengan radiasi sinar ultraviolet.

Obat lini pertama dan toksisitas obat dapat dilihat pada tabel 2. Regimen pengobatan yang tercantum dalam tabel 1 mempunyai tingkat kekambuhan kurang dari 5%. Kekambuhan biasanya terjadi dalam waktu enam bulan dan memiliki profil kerentanan obat yang sama dengan pengobatan sebelumnya. Beberapa pedoman mengatakan bahwa tidak diperlukan surveilans setelah pengobatan, terutama bila obat diberikan di bawah supervisi. Sebaliknya, pasien harus diinstruksikan untuk kembali ke klinik atau dokter setelah perawatan jika sudah terjadi perubahan status klinis. Untuk mengetahui hal ini maka harus dilakukan pemeriksaan dahak dan rontgen dada.

4. Ketidakpatuhan Pengobatan dan Directly Observed Treatment (DOT)

Beberapa pasien TB dengan penyakit kronis akan gagal untuk mengambil obat. Terdapat filsafat dan praktek unik dari kesehatan masyarakat. Misalnya, masyarakat di negara-negara industri mengharapkan adanya udara yang bebas dari TB, begitupun untuk air yang bebas dari potensi penyebaran patogen seperti typhus dan kolera. Hal ini mengakibatkan diterapkannya program pengobatan, karantina, atau bahkan perawatan jangka pendek pada pasien di Amerika Serikat atau beberapa negara lainnya.

Program DOT menggunakan perawat atau wali untuk mengawasi pasien meminum obat, daripada mengandalkan pasien untuk minum obat sendiri. Telah digunakan regimen intermiten untuk memudahkan sistem DOT. Dua regimen intermiten dapat dilihat dalam tabel 1; Regimen pengobatan 6 bulan telah terbukti mempunyai keberhasilan terapi yang sebanding dengan pengobatan harian. Para pasien juga dapat datang ke sebuah fasilitas kesehatan (clinic based DOT) atau tempat-tempat lain misalnya, di rumah, kantor, atau tempat berteduh (community based DOT). (Gambar 1). Penggunaan obat kombinasi, misalnya isoniazid dan rifampisin (Rifamate) dan isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid (Rifater) dapat meningkatkan kepatuhan. Kombinasi obat tersebut belum terbukti menguntungkan karena mengingat peningkatan biaya dan kurangnya kemampuan untuk membedakan obat mana yang bertanggung jawab terhadap toksisitas atau intoleransi.

DOT sangat efektif untuk menetukan keberhasilan suatu pengobatan. Suatu perbandingan antara pengobatan sistem DOT dengan pengobatan sendiri menunjukkan bahwa keberhasilan pengobatan secara signifikan lebih tinggi pada pengobatan sistem DOT. (Gambar 2). Beberapa peneliti berpendapat bahwa sistem DOT merupakan pelanggaran terhadap kebebasan individu, tetapi di sisi lain DOT dirancang sebagai program untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan sebagai manifestasi dari pelayanan komunitas. Keberhasilan program DOT menyediakan berbagai insentif dan enabler (praktek yang memfasilitasi program perawatan) untuk menciptakan suasana “consumer friendly.” Insentif dapat berupa penghargaan yang bertujuan untuk membuat pasien bersedia menerima pengobatan, misalnya, penyediaan layanan sosial, pemberian kupon makanan, bantuan perumahan atau dalam beberapa kasus dengan pemberian uang tunai. Beberapa enabler memfasilitasi pengobatan dengan praktek selama jam kerja, berada di lokasi yang mudah dicapai, dan memberikan bantuan transportasi, perawatan anak di klinik anak, atau pelayanan komprehensif seperti pemeriksaan radiologi, darah dan sputum.

Adanya kekhawatiran bahwa pemerintah tidak mampu melaksanakan program DOT, tetapi analisis terbaru menunjukkan bahwa pengobatan yang tepat, pencegahan kekambuhan, dan pengurangan kasus resistensi obat dapat memberikan dampak yang baik bagi masyarakat. Hasil dari program DOT dapat dilihat dengan pengurangan jumlah kasus tuberkulosis di tahun 1990-an di Amerika Serikat, bersamaan dengan peningkatan proporsi pasien yang menerima DOT pada tahun 1990-2000 dari 4% menjadi 70%. Dari tahun 1995 sampai 2000, tingkat TBC di Amerika Serikat turun rata-rata 7,8% per tahun. Meskipun bukan hanya penerapan sistem DOT pada periode ini (Langkah-langkah perbaikan untuk membatasi penularan nosokomial juga diperkenalkan), peneliti percaya bahwa DOT adalah faktor utama yang dapat menekan peningkatan kasus tuberculosis.

5. Pengobatan Terhadap Kelompok yang Berbeda

a. Pengobatan di Negara Berkembang
Secara teori, diagnosis dan pengobatan TB adalah sama antara negara berkembang dengan negara industri, tetapi dengan adanya keterbatasan ekonomi berarti bahwa secara signifikan terdapat perbedaan dalam prakteknya. Seperti yang dianjurkan oleh kebijakan WHO mengenai sistem DOTS bahwa pemeriksaan mikroskopis dahak merupakan diagnosis utama dan seringkali menjadi diagnosis satu-satunya di negara dengan keterbatasan sumber daya. Hal ini memiliki beberapa keterbatasan: pertama, diagnosis dari pemeriksaan mikroskopis dahak tidak terkonsentrasi kurang sensitif jika dibandingkan pemeriksaan dengan BTA terkonsentrasi (lebih baik) atau dengan kultur sputum (terbaik); kedua, diperlukan kultur tubercle bacilli untuk deteksi dini resistensi obati. Banyak negara-negara miskin menggunakan regimen obat ekonomis yang terdiri dari isoniazid dan thiacetazone yang diberikan selama 15 sampai 18 bulan, dengan total biaya hanya US $ 1.015 per orang. Meskipun regimen ini menarik dalam hal biaya tetapi tidak dianjurkankan karena memakan waktu pengobatan yang lebih lama dan tidak efektif terhadap resistensi isoniazid. Regimen thiacetazona memiliki resiko yang besar terhadap kerusakan kulit pada pasien AIDS. Sekarang sebagian besar negara telah mengembangkan regimen pengobatan 6 bulan menurut standard WHO, yang mencakup isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Karena rifampisin memiliki efek resistensi yang besar maka penggunaan rifampisin harus berada dalam pengawasan sistem DOT.

b. Pengobatan HIV dan TB
Pengobatan terhadap pasien dengan TB dan AIDS menimbulkan empat kunci perhatian. Pertama, pasien mungkin gagal dalam absoprsi obat antituberkulosis yang dapat meningkatkan resiko kegagalan pengobatan, kekambuhan, dan terjadinya resistensi obat. Kedua, reaksi antara obat ARV dan antituberculosis dapat meningkatkan resiko toksisitas dan resistensi obat. Peneliti menganjurkan bahwa pasien dengan TB dan AIDS sebaiknya ditangani oleh dokter yang memiliki pengalaman khusus. Ketiga, karena ARV mempengaruhi jumlah limfosit CD4 dan fungsi kekebalan tubuh maka hal ini dapat memperburuk gejala atau manifestasi lainnya misalnya semakin bertambahnya infiltrat pada waktu dilakukan rontgen dada, terjadi efusi pleura atau perikardial, pembengkakan pada kelenjar getah bening. Penundaan pengobatan ARV sampai pasien telah menjalani beberapa bulan pengobatan TB dapat mengurangi resiko tersebut tetapi tidak sepenuhnya meniadakan bahaya. Keempat, pasien memiliki kecenderungan terjadinya kekambuhan. Walaupun begitu, berdasarkan pedoman 1994 dari US Centers for Disease Control and Prevention dan the American Thoracic Society merekomendasikan regimen obat standard selama 6 bulan, dengan peringatan bahwa pengobatan harus diperpanjang pada pasien dengan “slow responders”.

c. Pengobatan Multidrug-Resistant Tuberculosis
Multidrug-Resistant Tuberculosis yang terjadi akibat strain TB yang resisten terhadap isoniazid dan rifampisin memiliki peranan klinis yang penting karena secara substansial dapat meningkatkan resiko kegagalan pengobatan, resistensi lebih lanjut, dan kematian. Prevalensi ini bervariasi secara luas dan umumnya mencerminkan kurang terorganisirnya pengobatan. Orang-orang yang termasuk dalam risiko ini adalah mereka dengan riwayat pengobatan tuberculosis sebelumnya, yang berasal dari daerah berisiko tinggi, dan pasien atau pekerja kesehatan (rumah sakit, klinik, penjara, atau rumah jompo) di mana telah terdapat transmisi epidemi strain resisten.

Terapi awal untuk pasien dengan Multidrug-Resistant Tuberculosis menggunakan regimen pengobatan empiris, terutama jika pasien memiliki penyakit paru-paru atau extrapulmonary yang luas dan berbahaya seperti tuberkulosis miliaria atau meningitis TB. Untuk pasien dengan penyakit tersebut harus diberikan sedikitnya empat obat yang rentan tergadap mycobakteri tersebut biasanya berupa tiga obat oral dan satu obat injeksi. Umumnya, obat injeksi seperti aminoglikosida diberikan selama tiga sampai enam bulan setelah terjadi konversi kultur sputum dari yang positif M.Tuberculosis menjadi negatif, dan pasien harus minum obat oral selama 15-18 bulan setelah terjadi konversi sputum. Pengobatan terhadap pasien dengan infeksi laten Multidrug-Resistant Tuberculosis menimbulkan masalah karena hanya isoniazid dan rifampisin yang dapat digunakan secara tepat dan luas. Sebuah Delphi survey gagal untuk mendefinisikan suatu konsensus untuk penanganan pasien dengan Multidrug-Resistant Tuberculosis, meskipun kombinasi pirazinamid dan ciprofloxacin dapat bermanfaat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kombinasi pirazinamid dan ofloksasin terbukti memiliki efek intramacrophage antimycobacterial.

Sehubungan dengan hepatotoksisitas berat yang terjadi akibat pencegahan dengan obat pirazinamid dan rifampicin atau pirazinamid dan fluorokuinolon tetapi fluorokuinolon monoterapi tanpa pirazinamid dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada orang dengan konversi tes kulit tuberkulin.

6. Potensi Kemoterapi
Menurut prinsip seleksi alam Darwin, jenis obat yang resisten terhadap tuberkulosis akan terus berkembang. Fluoroquinolones adalah obat baru yang paling menjanjikan untuk pengobatan tuberculosis. Terapi tambahan seperti oxaolidinones (misalnya linezolid), dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan meningkatkan efektifitas dari vaksin BCG atau vaksin Mycobacterium vaccae, baik dengan atau tanpa augmentasi sitokin.

7. Harapan Masa Depan
Tantangan langsung terhadap program penanganan tuberkulosis meliputi pengembangan regimen kuratif yang lebih singkat dan frekuensi minum obat yang lebih jarang. Diharapkan regimen pengobatan yang akan datang memiliki kedua fitur tersebut yaitu regimen pengobatan sekali seminggu dengan masa pengobatan hanya empat bulan. Regimen tersebut memerlukan pemantauan komplikasi. Isu jangka panjang adalah pengembangan perbaikan vaksin yang akan berdampak epidemiologis. BCG dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pada bayi namun memiliki pengaruh yang kecil terhadap orang dewasa. Sayangnya, karena penyebaran infeksi saat ini cukup luas maka pengembangan perbaikan vaksin tidak akan berdampak langsung. Akhirnya, penting untuk dikembangkan obat baru, terjangkau dan obat non toksik untuk menggantikan obat-obat yang sudah resisten.


Daftar Pustaka

  1. Iseman MD, Chan ED. Current Medical Treatment for Tuberculosis. BMJ 2002;325:1282–6
  2. Raviglione MC, Snider DEJ, Kochi A. Global epidemiology of tuberculosis: morbidity and mortality of a worldwide epidemic. JAMA 1995;273:220­6.
  3. WHO report 2002: Global tuberculosis control: surveillance, planning, financing. Geneva:World Health Organization, 2002.
  4. Burwen DR, Bloch AB, Griffin LD, Ciesielski CA, Stern HA, Onorato IM. National trends in the concurrence of tuberculosis and acquired immunodeficiency syndrome. Arch Intern Med 1995;155:1281­6.
  5. Cantwell MF, Snider DEJ, Cauthen GM, Onorato IM. Epidemiology of tuberculosis in the United States, 1985 through 1992. JAMA 1992;272:535­9.
  6. David HL. Probability distribution of drug­resistant mutants in unselected populations of Mycobacterium tuberculosis. Appl Microbiol 1970;20:810­4.
  7. Mitchison DA. Basic concepts in the chemotherapy of tuberculosis. In: Gangadharam PRJ, Jenkins PA, eds. Mycobacteria. II. Chemotherapy. New York: Chapman & Hall, 1998:15­50.
  8. Hong Kong Chest Service/British Medical Research Council. Controlled trial of 6­month and 8­month regimens in the treatment of pulmonary tuberculosis: the results up to 24 months. Tubercle 1979;60:201­10.
  9. Hong Kong Chest Service/British Medical Research Council. Controlled trial of 2, 4, and 6 months of pyrazinamide in 6­month, three­times weekly regimens for smear­positive pulmonary tuberculosis, including an assessment of a combined preparation of isoniazid, rifampin, and pyrazinamide: results at 30 months. Am Rev Respir Dis 1991;143:700­6.
  10. Ass JB Jr, Farer LS, Hopewell PC, O’Brien R, Jacobs RF, Ruben F, et al. Treatment of tuberculosis and tuberculosis infection in adults and children. American Thoracic Society and the Centers for Disease Control and Prevention. Am J Respir Crit Care Med 1994;149:1359­74.
  11. Barnes PF, Leedom JM, Chan LS,Wong SF, Shah J, Vachon LA, et al. Predictors of short­term prognosis in patients with pulmonary tuberculosis. J Infect Dis 1988;158:366­71.
  12. Iseman MD. A clinician’s guide to tuberculosis. Baltimore: Lippincott, Williams & Wilkins, 1999.
  13. Sbarbaro JA, Sbarbaro JB. Compliance and supervision of chemotherapy of tuberculosis. Sem Respir Infect 1994;9:120­7.
  14. Burman WJ, Cohn DL, Rietmeijer CA, Judson FN, Sbarbaro JA, Reves RR. Short­term incarceration for the management of noncompliance with tuberculosis treatment. Chest 1997;112:57­62.
  15. Cohn DL, Catlin BJ, Peterson KL, Judson FN, Sbarbaro JA. A 62­dose, 6­month therapy for pulmonary and extrapulmonary tuberculosis: A twice­weekly, directly observed, and cost­effective regimen. Ann Intern Med 1990;112:407­15.
  16. Chaulk CP, Friedman M, Dunning R. Modeling the epidemiology and economics of directly observed therapy in Baltimore. Int J Tuberc Lung Dis 2000;4:201­7.
  17. Chaulk CP, Kazandjian VA. Directly observed therapy for treatment com pletion of pulmonary tuberculosis: consensus statement of the Public Health Tuberculosis Guidelines Panel. JAMA 1998;279:943­8.
  18. Nardell EA. Beyond four drugs: public health policy and the treatment of the individual patient with tuberculosis [editorial]. Am Rev Respir Dis 1993;148:2­5.
  19. Burman WJ, Dalton CB, Cohn DL, Butler JRG, Reves RR. A cost­effectiveness analysis of directly observed therapy vs selfadministered therapy for treatment of tuberculosis. Chest 1997;112: 63­70.
  20. Moore RD, Chaulk CP, Griffiths R, Cavalcante S, Chaisson RE. Cost­effectiveness of directly observed versus self­administered therapy for tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med 1996;154:1013­9.
  21. Centers for Disease Control and Prevention. Reported tuberculosis in the United States. 2000. Atlanta, GA: Centers for Disease Control and Prevention, 2000
  22. Nunn P, Kibuga D, Gathna S, Brindle R, Imalingat A, Wasunna K, et al. Cutaneous hypersensitivity reactions due to thiacetazone in HIV­1 sero­positive patients treated for tuberculosis. Lancet 1991;337:627­30.
  23. Corbett EL, Steketee RW, ter Kuile FO, Latif AS, Kamali A, Hayes RJ. HIV­1/AIDS and the control of other infectious diseases in Africa. Lancet 2002;359:2177­87.
  24. Peloquin CA, Nitta AT, Burman WJ, Brudney KF, Miranda­Massari JR, McGuinness ME, et al. Low antituberculosis drug concentrations in patients with AIDS. Ann Pharmacother 1996;30:919­25.
  25. Centers for Disease Control. Clinical update: impact of HIV protease inhibitors on the treatment of HIV­infected tuberculosis patients with rifampin. MMWR 1996;45:921­5.
  26. Centers for Disease Control and Prevention. Updated guidelines for the use of rifabutin or rifampin for the treatment and prevention of tuberculosis among HIV­infected patients taking protease inhibitors or nonnucleoside reverse transcriptase inhibitors. MMWR 2000;49:185­9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar